Selasa, 01 November 2011

Koperasi dalam Menghadapi Era Globalisasi

Hampir seluruh belahan dunia termasuk Indonesia, sudah memasuki Era Globalisasi. Era Globalisasi ini masuk ke Indonesia salah satunya melalui perdagangan bebas. Bagi Indonesia, era globalisasi ini penting adanya untuk membuka tertutupnya usaha, khususnya untuk KOPERASI.
Namun dalam kenyataannya peran koperasi sebagai pilar ekonomi bangsa semakin mencemaskan jika dibandingkan dengan badan usaha lainnya. Apalagi pada era globalisasi sekarang ini peran koperasi semakin dipertanyakan masyarakat, apakah koperasi mampu mempertahankan jati dirinya sebagai pilar ekonomi rakyat? Apakah koperasi yang memiliki cita-cita mulia menyejahterakan masyarakat dapat terealisir? Bagaimana prospek koperasi Indonesia ke depan dan bagaimana pula tantangannya?

Tantangan Globalisasi
Ciri-ciri globalisasi ditandai dengan adanya pergerakan barang, modal dan uang dengan bebas dan perlakuan terhadap pelaku ekonomi sendiri dan asing (luar negeri) sama. Sehingga era globalisasi sering menjadi dilema bagi masyarakat, pemerintah dan dunia usaha. Kita tidak bisa membendung dan menahan bergulirnya globalisasi di tengah-tengah masyarakat, yang bisa kita lakukan adalah mengantisipasi dan mempersiapkan diri terhadap tantangan globalisasi. Para pelaku usaha khususnya koperasi dan UMKM harus mampu bersikap reaktif dan antisipatif menghadapi globalisasi ekonomi. Bukan mengeluh dan berteriak bahwa kita belum siap menghadapi globalisasi tanpa ada usaha dan kerja keras. Berteriak dan mengeluh bukan merupakan jalan keluar dari ancaman globalisasi.
Cukup kita sadari bahwa globalisasi ekonomi sekalipun telah menjadi sistem yang mendunia, tetapi tetap saja berada dalam ranah yang penuh kontroversi. Di satu sisi globalisasi mempunyai dampak positif di antara aktor-aktor ekonomi dunia. Mereka meyakini bahwa pasar terbuka, arus modal tanpa pembatas, akan memaksimalkan efisiensi dan efektifitas ekonomi demi terwujudnya kesejahteraan untuk semua. Sebaliknya di sisi lain kelompok anti globalisasi meyakini bahwa liberalisasi ekonomi hanya akan menguntungkan yang kuat dan melumpuhkan yang lemah, menciptakan kebangkrutan dan ketergantungan struktural negara berkembang atas negara maju.   
Untuk itu globalisasi ekonomi haruslah disikapi dengan kritis, hati-hati, dan penuh perhitungan. Seperti misalnya dampak perdagangan Indonesia dengan Cina pasca ditetapkannya ACFTA, apakah membawa nikmat dan berkah atau membawa sengsara. Atau sengsara membawa nikmat. Membanjirnya produk dari Cina di Indonesia, di satu sisi bisa menjadi pemicu bangkitnya UMKM di negeri kita untuk meningkatkan daya saing produksinya. Namun di sisi lain murahnya produk dari Cina menguntungkan konsumen di negeri kita yang memiliki kemampuan daya beli terbatas karena berpendapatan rendah.
Harapan dan Kecemasan akan Globalisasi 
       Globalisasi menggambarkan proses percepatan interaksi yang luas dalam bidang politik, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya. Globalisasi merupakan Istilah yang digunakan untuk menggambarkan multi lapis dan multi dimensi proses dan fenomena hidup yang sebagian besar didorong oleh Barat dan khususnya kapitalisme beserta niai-nilai hidupnya dan pelaksanaannya (Samuel M. Makinda dalam Dochak Latief, 2000).
          Dilihat dari kacamata ekonomi, esensi globalisasi pada dasarnya adalah peningkatan interaksi dan integrasi di dalam perekonomian baik di dalam maupun antar negara, yang meliputi aspek-aspek perdagangan, investasi, perpindahan faktor-faktor produksi dalam bentuk migrasi tenaga kerja dan penanaman modal asing, keuangan dan perbankan internasional serta arus devisa (Mahmud Toha, 2002). Interaksi ekonomi antar Negara tersebut mencakup arus perdagangan, produksi dan keuangan, sedangkan integrasi berarti bahwa perekonomian lokal atau nasional setiap negara secara efektif merupakan bagian yang tidak otonom dari satu perekonomian tunggal dunia.
         Jadi pengertian integrasi lebih keras/tegas dibandingkan interaksi. Berdasarkan kedua kata kunci tersebut pengertian globalisasi ekonomi adalah suatu kondisi dimana perekonomian nasional dan local terintegrasi dalam satu perekonomian tunggal yang bersifat global.

Peluang dan Tantangan Koperasi Dalam Era Globalisasi
    Pada waktu krisis moneter dan ekonomi menghantam Indonesia, ternyata BUMS dan BUMN/BUMD banyak yang kelimpungan gulung tikar, meninggalkan hutang yang demikian besar.
     Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK) yang biasanya dianggap tidak penting dan disepelekan justru sebagian besar dapat eksis dalam menghadapi badai krisis. Dengan demikian sektor yang disebut belakangan (UKMK) dapat menjadi pengganjal untuk tidak terjadinya kebangkrutan perekonomian, bahkan sebaliknya dapat diharapkan sebagai motor penggerak roda perekonomian nasional untuk keluar dari krisis. Sebagai contoh banyak peluang pasar yang semula tertutup sekarang menjadi terbuka. Contohnya, akibat mahalnya harga obat, yang sebagian besar masih harus diimpor, produsen jamu (ada yang membentuk koperasi) mendapat kesempatan memperlebar pasarnya dari pangsa yang lebih menyerupai “ceruk pasar” menuju kepada pasar yang lebih bermakna.
        Seandainya globalisasi benar-benar terwujud sesuai dengan skenario terjadinya pasar bebas dan persaingan bebas, maka bukan berarti tamatlah riwayatnya koperasi. Peluang koperasi untuk tetap berperan dalam percaturan perekonomian nasional dan internasional terbuka lebar asal koperasi dapat berbenah diri menjadi salah satu pelaku ekonomi (badan usaha) yang kompetitif dibandingkan pelaku ekonomi lainnya.
         Tantangan untuk pengembangan masa depan memang relatif berat, karena kalau tidak dilakukan pemberdayaan dalam koperasi dapat tergusur dalam percaturan persaingan yang makin lama makin intens dan mengglobal. Kalu kita lihat ciri-ciri globalisasi dimana pergerakan barang, modal dan uang demikian bebas dan perlakuan terhadap pelaku ekonomi sendiri dan asing (luar negeri) sama, maka tidak ada alasan bagi suatu negara untuk “meninabobokan” para pelaku ekonomi (termasuk koperasi) yang tidak efisien dan kompetitif.

Langkah-Langkah Antisipatif Koperasi Dalam Globalisasi
       E.F. Schumacher (1978) berpendapat bahwa small is beautiful. John Naisbitt (1944) merasa percaya bahwa masa depan perekonomian global berada ditangan unit usaha yang kecil, otonom, namun padat teknologi. Dari kedua pendapat tersebut mendorong keyakinan kita bahwa sektor-sektor usaha kecil di Indonesia perlu diberi kesempatan untuk berperan lebih banyak. Oleh karena itu. paradigma pengembangan ekonomi rakyat layak diaplikasikan dalam tatanan praktis. Pendapat A.P.Y. Djogo (dalam Mubyarto, 1999) perlu dikemukakan yang menganalisis perbedaan antara “ekonomi rakyat” dan “ekonomikonglomerat” dengan kesimpulan bahwa, jika ekonomi konglomerat “sejak dari sananya” adalah “ekonomi pertumbuhan”, maka ekonomi rakyat adalah “ekonomi pemerataan”.
         Keistimewaan koperasi tidak dikenal adanya majikan dan buruh, serta tidak ada istilah pemegang saham mayoritas. Semua anggota berposisi sama, dengan hak suara sama. Oleh karena itu, apabila aktivitas produksi yang dilakukan koperasi ternyata dapat memberi laba finansial, semua pihak akan turut menikmati laba tersebut.
         Untuk mengembangkan koperasi banyak hal yang perlu dibenahi, baik keadaan internal maupun eksternal. Di sisi internal, dalam tubuh koperasi masih banyak virus yang merugikan. Yang paling berbahaya adalah penyalahgunaan koperasi sebagai wahana sosial politik.
             Manuver koperasi pada akhirnya bukan ditujukan untuk kemajuan kopearasi dan kesejahteraan anggota, mealinkan untuk keuntungan politis kelompok tertentu.. Sebagai contoh, mislanya KUD (Koprasi Unit Desa) diplesetkan menjadi “Ketua Untung Dulu”, tentunya menggambarkan yang diuntungkan koperasi adalah para elit pengurusnya (Indra Ismawan, 2001). Parahnya lagi para pengurus koperasi kadangkala merangkap jabatan birokratis, politis atau jabatan kemasyarakatan, sehingga terjadinya konflik peran. Konflik yang berlatarbelakang nonkoperasi dapat terbawa kedalam lembaga koperasi, sehingga mempengaruhi citra koperasi.
    Dari sisi eksternal, terdapat semacam ambiguitas pemerintah dalam konteks pengembangankoperasi. Karena sumberdaya dan budidaya koperasi lebih di alokasikan untuk menguraikankonflik-konflik sosial politik, maka agenda ekonomi konkret tidak dapat diwujudkan.Koperasi jadi impoten, dimana fungsi sebagai wahana mobilisasi tidak dan perjuanganperekonomian rakyat kecil tidak berjalan.Jadi langkah pembenahan koperasi, pertama-tama harus dapat merestrukturisasihambatan internal, dengan mengkikis habis segala konflik yang ada.
    Untuk menggantimentalitas pencarian rente yang oportunitis, dibutuhkan upaya penumbuhkembangan etosdan mentalitas kewirausahaan para pengurus dan angota koperasi. Langkah-langkah inovasiusaha perlu terus ditumbuhkembangkan. Kedua, pembenahan manajerial. Manajemenkoperasi dimasa datang menghendaki pengarahan fokus terhadap paasr, sistem pencatatan keuangan yang baik, serta perencanaan arus kas dan kebutuhan modal mendatang. Ketiga, strategi integrasi keluar dan kedalam. Dalam integrasi ke luar, dibutuhkan kerjasama terspesialisasi antar koperasi maupun kerjasama dengan para pelaku lainnya dengan prinsipsaling menguntungkan. Ke dalam, koperasi dituntut untuk menempatkan anggotanyasebagai pelaku aktif dalam proses produksi dan distribusi dapat memenuhi suarat-syaratpenghematan biaya, pemanfaatan modal, spesialisasi, keorganisasian, fleksibilitas danpemekaran kesempatan kerhja. Menurut Indra Ismawan (2001), pada gilirannya koperasiakan memadukan istrilah the bigger is better dengan small is beautiful.

Berikut ini adalah langkah koperasi untuk menghadapi era-globalisasi.
1. Dalam menjalankan usahanya, pengurus koperasi harus mampu mengidentifikasi kebutuhan kolektif anggotanya dan memenuhi kebutuhan tersebut. Proses untuk menemukan kebutuhan kolektif anggota sifatnya kondisional dan lokal spesifik. Dengan mempertimbangkan aspirasi anggota-anggotanya, sangat dimungkinkan kebutuhan kolektif setiap koperasi berbeda-beda.
2. Adanya efektifitas biaya transaksi antara koperasi dengan anggotanya sehingga biaya tersebut lebih kecil jika dibandingkan biaya transaksi yang dibebankan oleh lembaga non-koperasi.
3. Kesungguhan kerja pengurus dan karyawan dalam mengelola koperasi. Disamping kerja keras, figur pengurus koperasi hendaknya dipilih orang yang amanah, jujur serta transparan.
4. Membagi koperasi menurut beberapa sektor :
  • koperasi produsen atau koperasi yang bergerak di bidang produksi,
  • koperasi konsumen atau koperasi konsumsi, dan
  • koperasi kredit dan jasa keuangan 
5. Pemahaman pengurus dan anggota akan jati diri koperasi, pengertian koperasi, nilai-nilai koperasi dan prinsip-prinsip gerakan koperasi harus dijadikan point penting karena hal itu yang mendasari segala aktifitas koperasi. Aparatur pemerintah terutama departemen yang membidangi masalah koperasi perlu pula untuk memahami secara utuh dan mendalam mengenai perkoperasian.
6. Kegiatan koperasi bersinergi dengan aktifitas usaha anggotanya.
7. Koperasi produksi harus merubah strategi kegiatannya dengan mereorganisasi kembali supaya kompatibel dengan tantangan yang dihadapi. 
      
    Dengan demikian, koperasi pun mampu setidaknya menghadapi era globalisasi saat ini, bukan malah terseret arus globalisasi yang berdampak koperasi akan tenggelam. Mari kita benahi koperasi sejak dini, karena koperasi di Indonesia juga merupakan jati diri bangsa.

Referensi :
·  

Minggu, 23 Oktober 2011

Mengapa koperasi di Indonesia sulit berkembang ?

Koperasi merupakan badan usaha bersama yang bertumpu pada prinsip ekonomi kerakyatan yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Berbagai kelebihan yang dimiliki oleh koperasi seperti efisiensi biaya serta dari peningkatan economies of scale jelas menjadikan koperasi sebagai sebuah bentuk badan usaha yang koperasi dengan berbagai kelebihannya ternyata sangat sulit berkembang di Indonesia. Koperasi bagaikan mati suri dalam 15 tahun terakhir. Koperasi Indonesia yang berjalan di tempat atau justru malah mengalami kemunduran.Ada banyak hal yang membuat koperasi di Indonesia kurang berkembang , diantaranya adalah sebagai berikut :

  •  Maju tidaknya koperasi terletak pada partisipasi anggotanya, dan jelas partisipasi ini erat kaitannya dengan pemahaman anggota koperasi terhadap definisi dan peran koperasi secara menyeluruh dan dalam arti yang sebenarnya. Bagaimana mereka bisa berpartisipasi lebih kalau mengerti saja tidak mengenai apa itu koperasi. Hasilnya anggota koperasi tidak menunjukkan partisipasinya baik itu kontributif maupun insentif terhadap kegiatan koperasi sendiri. Kurangnya pendidikan serta pelatihan yang diberikan oleh pengurus kepada para anggota koperasi ditengarai menjadi faktor utamanya, karena para pengurus beranggapan hal tersebut tidak akan menghasilkan manfaat bagi diri mereka pribadi. Kegiatan koperasi yang tidak berkembang membuat sumber modal menjadi terbatas. Terbatasnya usaha ini akibat kurangnya dukungan serta kontribusi dari para anggotanya untuk berpartisipasi membuat koperasi seperti stagnan. Oleh karena itu, semua masalah berpangkal pada partisipasi anggota dalam mendukung terbentuknya koperasi yang tangguh, dan memberikan manfaat bagi seluruh anggotanya, serta masyarakat sekitar
  •  lambatnya pertumbuhan koperasi di Indonesia akibat pembatasan bisnis koperasi. Koperasi tidak diperkenankan menjual komoditas publik seperti beras, gula, pupuk, dan lainnya. Padahal, bisnis pada sektor tersebut mampu mendongkrak roda bisnis koperasi.
  • Kelembagaan koperasi belum sepenuhnya mendukung gerak pengembangan usaha. Hal ini disebabkan adanya kekuatan, struktur dan pendekatan pengembangan kelembagaan yang kurang memadai bagi pengembangan usaha. Mekanismenya belum dapat dikembangkan secara fleksibel untuk mendukung meluas dan mendalamnya kegiatan usaha koperasi. Aspek kelembagaan yang banyak dipermasalahahkan antara lain adalah daerah kerja, model kelembagaan koperasi produksi, koperasi konsumsi dan koperasi jasa, serta pemusatan koperasi. 
  • Alat perlengkapan organisasi koperasi belum sepenuhnya berfungsi dengan baik. Hal ini antara lain disebabkan oleh: a) Pengurus dan Badan Pemeriksa (BP) yang terpilih dalam rapat anggota serta pelaksana usaha pada umumnya tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai, sehingga kurang mampu untuk melaksanakan pengelolaan organisasi, manajemen dan usaha dengan baik, serta kurang tepat dalam menanggapi perkembangan nngkungan. b) Mekanisme hubungan dan pembagian kerja antara Pengurus, Badan Pemeriksa dan Pelaksana Usaha (Manajer) masih belum berjalan dengan serasi dan saling mengisi. c) Penyelenggaraan RAT koperasi masih belum dapat dilakukan secara tepat waktu dan dirasakan masih belum sepenuhnya menampung kesamaan kebutuhan, keinginan dan kepentingan dari pada anggotanya.
    • Dalam pelaksanaan usaha, koperasi masih belum sepenuhnya mampu mengembangkan kegiatan di berbagai sektor perekonomian karena belum memiliki kemampuan memanfaatkan kesempatan usaha yang tersedia.
    • Belum sepenuhnya tercipta jaringan mata rantai tataniaga yang efektif dan efisien, baik dalam pemasaran hasil produksi anggotanya maupun dalam distribusi bahan kebutuhan pokok para anggotanya.
    • Terbatasnya modal yang tersedia khususnya dalam bentuk kredit dengan persyaratan lunak untuk mengembangkan usaha, terutama yang menyangkut kegiatan usaha yang sesuai dengan kebutuhan anggota, di luar kegiatan program pemerintah. Selain itu koperasi masih belum mampu melaksanakan pemupukan modlal sendiri yang mengakibatkan sangat tergantung pada kredit dari bank walaupun biayanya lebih mahal.
    • Keterbatasan jumlah dan jenis sarana usaha yang dimiliki koperasi, dan kemampuan para pengelola koperasi dalam mengelola sarana usaha yang telah dimiliki.
    • Belum terciptanya pola dan bentuk-bentuk kerjasama yang serasi, baik antar koperasi secara horizontal dan vertikal maupun kerjasama antara koperasi dengan BUMN dan Swasta. 
    Aspek lingkungan yang terdiri dari kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya, tidak dapat dilepaskan dari proses pengembangan koperasi. Di satu pihak kondisi tersebut dapat memberikan kesempatan, di pihak lain dapat menimbulkan hambatan bagi perkembangan koperasi. Adapun kondisi lingkungan yang dapat diidentifikasikan, sebagai berikut
    • Kemauan politik yang kuat dari amanat GBHN 1999-2004 dalam upaya pengembangan koperasi, kurang diikuti dengan tindakan-tindakan yang konsisten dan konsekuen dari seluruh lapisan struktur birokrasi pemerintah.
    • Kurang adanya keterpaduan dan konsistensi antara program pengembangan koperasi dengan program pengembangan sub-sektor lain, sehingga program pengembangan sub-sektor koperasi seolah-olah berjalan sendiri, tanpa dukungan dan partisipasi dari program pengembangan sektor lainnya.
    • Dirasakan adanya praktek dunia usaha yang mengesampingkan semangat usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan gotong-royong.
    • Masih adanya sebagian besar masyarakat yang belum memahami dan menghayati pentingnya berkoperasi sebagai satu pilihan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
    • Sikap sebagian besar masyarakat di lingkungan masyarakat yang miskin dirasakan masih sulit untuk diajak berusaha bersama, sehingga di lingkungan semacam itu kehidupan berkoperasi masih sukar dikembangkan.
    • Sebagai organisasi yang membawa unsur pembaruan, koperasi sering membawa nilai-nilai baru yang kadang-kadang kurang sesuai dengan nilai yang dianut oleh masyarakat yang lemah dan miskin terutama yang berada di pedesaan. 
    Keberhasilan koperasi dalam melaksanakan peranannya antara lain sangat ditentukan faktor-faktor sebagai berikut:
    • Kemampuan menciptakan posisi pasar dan pengawasan harga yang layak antara lain dengan cara: 1) Bertindak bersama dalam menghadapi pasar melalui pemusatan kekuatan dari anggota; 2) Memperpendek jaringan pemasaran; 3) Memiliki alat perlengkapan organisasi yang berfungsi dengan baik seperti pengurus, Rapat Anggota, dan Badan Pemeriksa, serta manajer yang terampil dan berdedikasi; 4) Memiliki kemampuan sebagai suatu unit usaha dalam mengatur jumlah dan kualitas barang-barang yang dipasarkan melalui kegiatan pergudangan, penelitian kualitas yang cermat dan sebagainya.
    • Kemampuan koperasi untuk menghimpun dan menanamkan kembali modal, dengan cara penumpukan modal anggota;
    • Penggunaan sarana dan prasarana yang tersedia secara optimal untuk mempertinggi efisiensi.
    • Terciptanya keterampilan teknis di bidang produksi, pengolahan dan pemasaran yang tidak mungkin dapat dicapai oleh anggota secara sendiri-sendiri.
    •  Pembebanan resiko dari anggota kepada koperasi sebagai satu unit usaha, yang selanjutnya kembali ditanggung secara bersama oleh anggotanya.
    •  Pengaruh dari koperasi terhadap anggota yang berkaitan dengan perubahan sikap dan perilaku yang lebih sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan, diantaranya perubahan teknologi, pasar dan dinamika masyarakat. 
    Selanjutnya hubungan dan pola kerjasama koperasi dengan pelaku ekonomi lainnya haruslah serasi. Sifat hubungan tersebut haruslah saling menguntungkan dan tidak menimbulkan ketergantungan koperasi kepada bangun ekonomi yang lain, serta dilandasi oleh pola kerjasama antar koperasi sendiri secara horizontal dan vertikal. Pembangunan kerja sama dengan pelaku ekonomi lainnya diprioritaskan pada pengembangan hubungan dengan pengusaha menengah dan perusahaan besar milik negara.Dengan kedudukan dan peranan koperasi yang demikian dan sesuai dengan kebijaksanaan program pembangunan koperasi dalam era reformasi yang dititik beratkan pada upaya memandirikan koperasi, reposisi peran koperasi pada hakikatnya ditujukan menyelaraskan peran koperasi, sesuai dengan ide dan prinsip dasarnya. Di samping untuk mengembalikan tujuan pembangunan koperasi, reposisi koperasi diprogramkan untuk mengeliminir permasalahan yang dihadapi koperasi.
      Referensi :

      Jumat, 21 Oktober 2011

      Cara Memajukan Koperasi di Indonesia

      Ada beberapa cara untuk memajukan koperasi di Indonesia, seperti :

      Sumber Daya Manusia
      Harus ada Sumber Daya Manusia yang dapat mengacu pada visi dan misi koperasi serta bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat indonesia dengan pemberdayaan pengusaha kecil dan menengah, kemampuan penggunaan teknologi, terutama internet dan komputer, kelancaran berbahasa asing terutama bahasa inggris serta keterampilan manajerial menjadi syarat utama bagi para pemilik dan tim manajemen koperasi. Kelancaran berbahasa asing terutama sangat dibutuhkan pada saat bernegosiasi dengan buyers dari luar negeri. Tim manajemen sangat berperan dalam memajukan daerahnya melalui keberhasilan mengolah dan memasarkan SDA daerahnya melalui repositioning koperasi. Pelatihan-pelatihan bagi setiap anggota koperasi pun diperlukan guna meningkatkan kwalitas dan kinerja kerja para anggota koperasi dan menambah pemahaman agar koperasi tersebut dapat terus berkembang

      Menerapkan sistem GCG
      Koperasi perlu mencontoh implementasi good corporate governance(GCG) yang telah diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum perseroan. Implementasi GCG dalam beberapa hal dapat diimplementasikan pada koperasi. Untuk itu, regulator, dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM perlu memperkenalkan secara maksimal suatu konsep good cooperative governance (disingkat juga dengan GCG) atau tatakelola koperasi yang baik.
      Perkembangan koperasi di Indonesia semakin lama semakin menunjukkan perkembangan menggembirakan. Sebagai salah satu pilar penopang perekonomian Indonesia, keberadaan koperasi sangat kuat dan mendapat tempat tersendiri di kalangan pengguna jasanya. Koperasi telah membuktikan bahwa dirinya mampu bertahan di tengah gempuran badai krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Keberadaan koperasi semakin diperkuat pula dengan dibentuknya Kementerian Negara Koperasi dan UKM yang salah satu tugasnya adalah mengembangkan koperasi menjadi lebih berdaya guna. Koperasi sangat diharapkan menjadi soko guru perekonomian yang sejajar dengan perusahaan-perusahaan dalam mengembangkan perekonomian rakyat.
      Analogi sederhana yang dikembangkan adalah jika koperasi lebih berdaya, maka kegiatan produksi dan konsumsi yang jika dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, maka melalui koperasi yang telah mendapatkan mandat dari anggota-anggotanya hal tersebut dapat dilakukan dengan lebih berhasil. Dengan kata lain, kepentingan ekonomi rakyat, terutama kelompok masyarakat yang berada pada aras ekonomi kelas bawah (misalnya petani, nelayan, pedagang kaki lima) akan relatif lebih mudah diperjuangkan kepentingan ekonominya melalui wadah koperasi. Inilah sesungguhnya yang menjadi latar belakang pentingnya pemberdayaan koperasi.
      Namun demikian, kenyataan membuktikan bahwa koperasi baru manis dikonsep tetapi sangat pahit perjuangannya di lapangan. Semakin banyak koperasi yang tumbuh semakin banyak pula yang tidak aktif. Bahkan ada koperasi yang memiliki badan hukum namun tidak eksis sama sekali. Hal ini sangat disayangkan karena penggerakan potensi perekonomian pada level terbawah berawal dan diayomi melalui koperasi. Oleh karena itu, koperasi tidak mungkin tumbuh dan berkembang dengan berpegang pada tata kelola yang tradisonal dan tidak berorientasi pada pemuasan keperluan dan keinginan konsumen. Koperasi perlu diarahkan pada prinsip pengelolaan secara modern dan aplikatif terhadap perkembangan zaman yang semakin maju dan tantangan yang semakin global
      Koperasi perlu mencontoh implementasi good corporate governance(GCG) yang telah diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum perseroan. Implementasi GCG dalam beberapa hal dapat diimplementasikan pada koperasi. Untuk itu, regulator, dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM perlu memperkenalkan secara maksimal suatu konsep good cooperative governance (disingkat juga dengan GCG) atau tatakelola koperasi yang baik.
      Konsep GCG sektor koperasi perlu dimodifikasi sedemikian rupa untuk menjawab tantangan pengelolaan koperasi yang semakin kompleks. Implementasi GCG perlu diarahkan untuk membangun kultur dan kesadaran pihak-pihak dalam koperasi untuk senantiasa menyadari misi dan tanggung jawab sosialnya yaitu mensejahterakan anggotanya.
      Dalam mengimplementasikan GCG, koperasi Indonesia perlu memastikan beberapa langkah strategis yang memadai dalam implementasi GCG. Pertama, koperasi perlu memastikan bahwa tujuan pendirian koperasi benar-benar untuk mensejahterakan anggotanya. Pembangunan kesadaran akan tujuan perlu dijabarkan dalam visi,misi dan program kerja yang sesuai. Pembangunan kesadaran akan mencapai tujuan merupakan modal penting bagi pengelolaan koperasi secara profesional, amanah, dan akuntabel.

      Meningkatkan anggaran modal
      Koperasi di Indonesia harus meningkatkan anggaran modal guna meningkatkan Mutu dan Kualitas kegiatan perkoperasian.

      Sarana dan Prasarana
      Sarana dan prasarana yang menunjang diperlukan terutama dalam sistem informasi dan telekomunikasi yang memudahkan koperasi tersebut mengembangkan usahanya lebih meluas dan berkemban

      Targeting
      Target harus sesuai dengan strategi focus yang dilakukan oleh koperasi, maka targeting koperasi adalah pemasaran terpusat (concentrated marketing), yaitu merangkul bagian pasar yang luas dari satu atau sedikit segmen pasar dari pada memperoleh bagian pasar yang luas

      Positioning
      Positioning koperasi lebih ditekankan pada manfaat yang diperoleh masyarakat dari koperasi yang dapat diperoleh melalui koperasi yang berbasis teknologi dan kualitas SDM (brainware management) Pembahan positioning dari koperasi yang diatur secara profesional akan memakan waktu cukup lama, karena repositioning juga menyangkut persepsi di benak konsumen. Jika selama ini, koperasi dipandang sebelah mata oleh sebagian usahawan, kini saatnya koperasi membuktikan kompetensinya melalui kesiapan dan kemampuan berusaha dalam iklim otonomi daerah, sehingga maanfaatnya dirasakan oleh masyarakat luas baik di Indonesia maupun dimanca negara.

      Segmentasi
      Segmentasi utama dari repositioning koperasi adalah industri baik di Indonesia maupun dimanca negara. Konsumen jenis ini disebut Industrial customers, yaitu konsumen institusi yang membeli untuk menghasikan sesuatu. Konsumen ritel tetap dilayani, terutama untuk produk konsumsi, yaitu barang kebutuhan sehari-hari.

      Product
      Product yang ditawarkan oleh suatu koperasi haruslah produk yang berkualitas dan mampu bersaing dengan produk lain, dengan demikian konsumen pun akan merasa terpuaskan akan product yang ditawarkan oleh koperasi tersebut.

      Referensi : http://agrma.wordpress.com
                        http://dhiasitsme.wordpress.com

      Jumat, 23 September 2011

      PERKEMBANGAN KOPERASI INDONESIA SAAT INI

      Koperasi sebagai suatu sistem ekonomi, mempunyai kedudukan (politik) yang cukup kuat karena memiliki cantolan konstitusional, yaitu berpegang pada Pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa pembangun usaha yang paling cocok dengan menggunakan asas kekeluargaan itu adalah koperasi. Tafsiran itu sering pula dikemukakan oleh Mohammad Hatta, yang sering disebut sebagai perumus pasal tersebut. Pada penjelasan konstitusi tersebut juga dikatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia didasarkan pada asas Demokrasi Ekonomi, di mana produksi dilakukan oleh semua dan untuk semua yang wujudnya dapat ditafsirkan sebagai koperasi. Dalam wacana sistem ekonomi dunia, koperasi disebut juga sebagai the third way, atau "jalan ketiga", istilah yang akhir-akhir ini dipopulerkan oleh sosiolog Inggris, Anthony Giddens, yaitu sebagai "jalan tengah" antara kapitalisme dan sosialisme.
      Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Ia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. R. Aria Wiriatmadja atau Tirto Adisuryo, yang kemudian dibantu pengembangannya oleh pejabat Belanda dan akhirnya menjadi program resmi pemerintah. Seorang pejabat pemerintah Belanda, yang kemudian menjadi sarjana ekonomi, Booke, juga menaruh perhatian terhadap koperasi di Indonesua. Atas dasar tesisnya, tentang dualisme sosial budaya masyarakat Indonesia antara sektor modern dan sektor tradisional, ia menarik kesimpulan bahwa sistem usaha koperasi lebih cocok bagi kaum pribumi daripada bentuk badan-badan usaha kapitalis. Pandangan ini agaknya disetujui oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga pemerintah kolonial itu mengadopsi kebijakan pembinaan koperasi. Meski koperasi tersebut berkembang pesat hingga tahun 1933-an, pemerintah Kolonial Belanda khawatir koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan, namun koperasi menjamur kembali hingga pada masa pendudukan Jepang dan kemerdekaan.
      Pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya, Jawa Barat. Hari itulah kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia. Bung Hatta meneruskan tradisi pemikiran ekonomi sebelumnya. Ketertarikannya kepada sistem koperasi agaknya adalah karena pengaruh kunjungannya ke negara-negara Skandinavia, khususnya Denmark, pada akhir tahun 1930-an. Walaupun ia sering mengaitkan koperasi dengan nilai dan lembaga tradisional gotong-royong, namun persepsinya tentang koperasi adalah sebuah organisasi ekonomi modern yang berkembang di Eropa Barat. Ia pernah juga membedakan antara "koperasi sosial" yang berdasarkan asas gotong royong, dengan "koperasi ekonomi" yang berdasarkan asas-asas ekonomi pasar yang rasional dan kompetitif. Bagi Bung Hatta, koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar atau nonpasar dalam masyarakat tradisional. Koperasi, baginya adalah sebuah lembaga self-help lapisan masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Karena itu koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar, dengan cara menerapkan prinsip efisiensi. Koperasi juga bukan sebuah komunitas tertutup, tetapi terbuka, dengan melayani non-anggota, walaupun dengan maksud untuk menarik mereka menjadi anggota koperasi, setelah merasakan manfaat berhubungan dengan koperasi. Dengan cara itulah sistem Koperasi akan mentransformasikan sistem ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi kecil melalui persaingan bebas (kompetisi), menjadi sistem yang lebih bersandar kepada kerja sama atau koperasi, tanpa menghancurkan pasar yang kompetitif itu sendiri.
      Dewasa ini, di dunia ada dua macam model koperasi. Pertama, adalah koperasi yang dibina oleh pemerintah dalam kerangka sistem sosialis. Kedua, adalah koperasi yang dibiarkan berkembang di pasar oleh masyarakat sendiri, tanpa bantuan pemerintah. Jika badan usaha milik negara merupakan usaha skala besar, maka koperasi mewadahi usaha-usaha kecil, walaupun jika telah bergabung dalam koperasi menjadi badan usaha skala besar juga. Di negara-negara kapitalis, baik di Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia, koperasi juga menjadi wadah usaha kecil dan konsumen berpendapatan rendah. Di Jepang, Koperasi telah menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian.
      Di Indonesia, Bung Hatta sendiri menganjurkan didirikannya tiga macam koperasi. Pertama, adalah koperasi konsumsi yang terutama melayani kebutuhan kaum buruh dan pegawai. Kedua, adalah koperasi produksi yang merupakan wadah kaum petani (termasuk peternak atau nelayan). Ketiga, adalah koperasi kredit yang melayani pedagang kecil dan pengusaha kecil guna memenuhi kebutuhan modal. Bung Hatta juga menganjurkan pengorganisasian industri kecil dan koperasi produksi, guna memenuhi kebutuhan bahan baku dan pemasaran hasil.
      Menurut Bung Hatta, tujuan koperasi bukanlah mencari laba yang sebesar-besarnya, melainkan melayani kebutuhan bersama dan wadah partisipasi pelaku ekonomi skala kecil. Tapi, ini tidak berarti, bahwa koperasi itu identik dengan usaha skala kecil. Koperasi bisa pula membangun usaha skala besar berdasarkan modal yang bisa dikumpulkan dari anggotanya, baik anggota koperasi primer maupun anggota koperasi sekunder. Contohnya adalah industri tekstil yang dibangun oleh GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) dan berbagai koperasi batik primer. Karena kedudukannya yang cukup kuat dalam konstitusi, maka tidak sebuah pemerintahpun berani meninggalkan kebijakan dan program pembinaan koperasi. Semua partai politik, dari dulu hingga kini, dari Masyumi hingga PKI, mencantumkan koperasi sebagai program utama. Hanya saja kantor menteri negara dan departemen koperasi baru lahir di masa Orde Baru pada akhir dasarwarsa 1970-an. Karena itu, gagasan sekarang untuk menghapuskan departemen koperasi dan pembinaan usaha kecil dan menengah, bukan hal yang mengejutkan, karena sebelum Orde Baru tidak dikenal kantor menteri negara atau departemen koperasi. Bahkan kabinet-kabinet yang dipimpin oleh Bung Hatta sendiri pun tidak ada departemen atau menteri negara yang khusus membina Koperasi.
      Koperasi di Indonesia dalam perkembangannya mengalami pasang dan surut. Sebuah pertanyaan sederhana namun membutuhkan jawaban yang cukup njelimet, terlontar dari seorang peserta. Mengapa jarang dijumpai ada koperasi yang bertumbuh menjadi usaha besar yang menggurita, layaknya pelaku ekonomi lain, yakni swasta (konglomerat) dan BUMN? Mengapa gerakan ini hanya berkutat dari persoalan yang satu ke persoalan lain, dan cenderung stagnan alias berjalan di tempat? Mengapa Koperasi sulit berkembang di tengah "habitat" alamnya di Indonesia? Inilah sederet pertanyaan yang perlu dijadikan bahan perenungan .Padahal, upaya pemerintah untuk "memberdayakan" koperasi seolah tidak pernah habis. Bahkan, bila dinilai, mungkin amat memanjakan. Berbagai paket program bantuan dari pemerintah seperti kredit program: KKop, Kredit Usaha Tani (KUT), pengalihan saham (satu persen) dari perusahaan besar ke koperasi, skim program KUK dari bank dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang merupakan kredit komersial dari perbankan, juga "paket program" dari Permodalan Nasional Madani (PNM), terus mengalir untuk memberdayakan gerakan ekonomi kerakyatan ini. Tak hanya bantuan program, ada institusi khusus yang menangani di luar Dekopin, yaitu Menteri Negara Urusan Koperasi dan PKM (Pengusaha Kecil Menengah), yang seharusnya memacu gerakan ini untuk terus maju. Namun, kenyataannya, koperasi masih saja melekat dengan stigma ekonomi marjinal, pelaku bisnis yang perlu dikasihani, pelaku bisnis "pupuk bawang", pelaku bisnis tak profesional. Masalah tersebut tidak bisa dilepaskan dari substansi koperasi yang berhubungan dengan semangat. Dalam konteks ini adalah semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Jadi, bila koperasi dianggap kecil, tidak berperan, dan merupakan kumpulan serba lemah, itu terjadi karena adanya pola pikir yang menciptakan demikian. Singkatnya, koperasi adalah untuk yang kecil-kecil, sementara yang menengah bahkan besar, untuk kalangan swasta dan BUMN. Di sinilah terjadinya penciptaan paradigma yang salah. Hal ini mungkin terjadi akibat gerakan koperasi terlalu sarat berbagai embel-embel, sehingga ia seperti orang kerdil yang menggendong sekarung beras di pundaknya. Koperasi adalah "badan usaha", juga "perkumpulan orang" termasuk yang "berwatak sosial".
      Definisi yang melekat jadi memberatkan, yakni organisasi sosial yang berbisnis atau lembaga ekonomi yang mengemban fungsi sosial. Berbagai istilah apa pun yang melekat, sama saja, semua memberatkan gerakan koperasi dalam menjalankan visi dan misi bisnisnya. Mengapa tidak disebut badan usaha misalnya, sama dengan pelaku ekonomi-bisnis lainnya, yakni kalangan swasta dan BUMN, sehingga ketiganya memiliki kedudukan dan potensi sejajar. Padahal, persaingan yang terjadi di lapangan demikian ketat, tak hanya sekadar pembelian embel-embel. Hanya kompetisi ketat semacam itulah yang membuat mereka bisa menjadi pengusaha besar yang tangguh dan profesional. Para pemain ini akan disaring secara alami, mana yang efisien dalam menjalankan bisnis dan mereka yang akan tetap eksis. Koperasi yang selama ini diidentikkan dengan hal-hal yang kecil, pinggiran dan akhirnya menyebabkan fungsinya tidak berjalan optimal. Memang pertumbuhan koperasi cukup fantastis, di mana di akhir tahun 1999 hanya berjumlah 52.000-an, maka di akhir tahun 2000 sudah mencapai hampir 90.000-an. Namun, dari jumlah yang demikian besar itu, kontribusinya bagi pertumbuhan mesin ekonomi belum terlalu besar. Koperasi masih cenderung menempati ekonomi pinggiran (pemasok dan produksi), lebih dari itu, sudah dikuasai swasta dan BUMN. Karena itu, tidak aneh bila kontribusi koperasi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) baru sekitar satu sampai dua persen, itu adalah akibat frame of mind yang salah. Di Indonesia, beberapa koperasi sebenarnya sudah bisa dikatakan memiliki unit usaha besar dan beragam serta tumbuh menjadi raksasa bisnis berskala besar. koperasi yang bersangkutan sudah merambah dan menangani berbagai bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dan merangsek ke berbagai bidang usaha-bisnis komersial. 

      referensi : http://community.gunadarma.ac.id/blog
                       www.google.com