PENGERTIAN HUKUM PERJANJIAN
para ahli hukum mempunyai pendapat yang
berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan
bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli
hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan
atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti
luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap
perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para
pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti
sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum
dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab
undang-undang hukum perdata.
STANDAR KONTRAK
Istilah perjanjian baku berasal dari
terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak
merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak,
terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir
Fuadi adalah :[8] Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu
pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak
(boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang
dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya
mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa
perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak
tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk
menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu
pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.[9]
Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat
keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi
lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan
sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial.
Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti
kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.[10]
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian.[11] Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.[12]
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian.[11] Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.[12]
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.
Dalam melihat pembatasan kebebasan
berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat
yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah
pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh
karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption
clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua
pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public
interest).[13]
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.
Di Indonesia kita ketahui pula ada
dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian
yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang
menyangkut hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan
perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU
atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai
kekuatan hukum untuk membatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1. Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku
diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
3. Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4. Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5. Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6. UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
3. Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4. Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5. Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6. UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
MACAM-MACAM
KONTRAK ATAU PERJANJIAN
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah :
Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
Berkaitan dengan perjanjian syarat batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah :
Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
Berkaitan dengan perjanjian syarat batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji
tidak dipenuhi seluruh atau sebagian dari padanya
maka lawan janjinya berhak mensomir BHP. Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan
apakah mereka mau mempertahankan perjanjian tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan dalam tulisan.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan dalam tulisan.
MACAM-MACAM PERJANJIAN
Macam-macam perjanjian obligator ialah sbb;
1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian
dengan beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian
dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa
menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).Perjanjian
dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu
keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana
hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang
memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah
apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut.Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu
bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis.
Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana
Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam
Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
SYARAT-SYARAT SAH PERJANJIAN
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat,
maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut
ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya
suatu perjanjian, yaitu :
1. Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya
Syarat pertama
merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara
para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu
timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur
paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat
berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut
dapat dibatalkan.
2. Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan
kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap
berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut
pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang
belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.
3. Mengenai suatu hal
tertentu
Secara yuridis suatu
perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu
disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus
memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka
objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4. Suatu sebab yang
halal
Setiap perjanjian
yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian
dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua
disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum
yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian
tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan
syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila
syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan
asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai
arti penting bagi :
a)
kesempatan penarikan kembali penawaran;
b) penentuan resiko;
c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d) menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.
b) penentuan resiko;
c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d) menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.
PELAKSANAAN KONTRAK
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP
menjadi bagian dari pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur
dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa
yang mempunyai tugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi
subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan
pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan etiket baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk
melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik
terkesan hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak,
tidak ada fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum
juga dalam kebiasaan karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi
dalam praktek, maka harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman
pada kepatutan.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
PEMBATALAN PERJANJIAN
Pembelokan pelaksanaan kontrak
sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak
konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji.
Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana
mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti
yang disebutkan dalam kontrak.
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
Tidak memenuhi prestasi sama sekali,terlambat memenuhi prestasi, dan memenuhi prestasi
secara tidak sah
Akibat munculnya wanprestasi ialah
timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian
yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi
memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita
kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan
kerugian berupa :
Pemenuhan perikatan
Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi Ganti rugi
Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
Pembatalan dengan ganti rugi
Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi Ganti rugi
Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
Pembatalan dengan ganti rugi
Sumber:
http://sendyego.blogspot.com/2011/05/hukum-perjanjian-standar-kontrak.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar